Rabu, 30 Maret 2011

Tugas Tutorial Online MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan

 Akar masalah terorisme atas nama agama di Indonesia
 Di Indonesia, faktor kemiskinan dan kegagalan mengelola negara menjadi faktor suburnya teroris dan terorisme. Karena itu perlu perbaikan dalam proses bernegara dan berdemokrasi. Bagi Indonesia, kunci pemberantasan terorisme terletak pada perbaikan taraf hidup masyarakat dan terlibatnya ulama-ormas Islam dalam proses deradikalisasi. Selama ini seolah negara—dalam hal ini Polri—berjuang dan menikmati ongkos bantuan asing sendiri, sehingga tidak efektif, karena hanya proses represif yang terjadi. Tindakan represif aparat yang tidak pas bisa menimbulkan simpati masyarakat pada para pelaku teroris, sehingga menimbulkan benih baru. Terorisme ini perlu segera dituntaskan, sehingga tidak menjadi dagangan elit politik dan Polri.

Peranan Media Massa
Salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku orang/public. McDevitt (1996) mengatakan, “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakata.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai alat kontrol sosial.
Dalam konteks realitasnya tindakan terorisme adalah salah satu bentuk komunikasi juga  Karena para teroris biasanya mengekspos tindakan mereka itu dengan memanfaatkan media massa. Dan ini biasanya merupakan bagian terbesar dari sebuah ulasan berita dari media itu sendiri. Dan akibatnya adalah seringkali adanya salah paham terhadap istilah media terorism dalam menangkap maksud dari teroris untuk mengkomunikasikan perbuatan dan tindakannya itu sebagai ketundukan media. Untuk menghindari kesalahpahaman itu maka kita lebih baik memahami istilah mass-mediated terrorism sebagai sentralisasi komunikasi dengan apa yang disebut mediated political violence atau mass mediated terrorism. Hal ini karena para teroris biasanya bermaksud untuk mendapat ekspos media terhadap tindakan mereka sehingga pemerintah bisa mengetahui keinginan teroris mengapa mereka melakukan teror dan menemukan sebuah realitas bahwasanya media merupakan sarana penghubung antara pemerintah dengan warga negara.
       Logika ini bisa dilihat bagaimana Timothy McVeigh dalam pengeboman Oklahoma City Building yang menewaskan ratusan korban justru memilih Gedung Federal Murrah sebagai target karena area itu mudah diakses media. Ini juga terjadi pada peristiwa pengeboman jantung kapal laut USS Cole, pengeboman WTC pada 1993, atau pengeboman kedutaan AS di Kenya dan Tanzania karena area yang mudah terekspos justru mendapat jatah pemberitaan yang signifikan di media. Atau bahkan bahkan media digunakan sebagai alat propaganda sehingga semakin menguatkan asumsi bahwa ada hubungan kuat antara komunikasi dengan media (sebagaimana diutarakan oleh Michel Wievforka). Logika ini lebih mudah dipahami saat kita membaca tulisan Thomas Friedman, yang meraih penghargaan Pulitzer Prize bahwa tokoh teroris Osama bin Laden bukanlah teroris dalam artian sebenarnya karena ia hanya menjelma menjadi apa yang kemudian disebut super empowered man yang menginspirasi banyak tindakan terorisme di dunia yang justru tidak mencari perhatian media tapi lebih pada keinginan untuk membunuh sebanyak mungkin orang2 Amerika tapi dalam Manual of the Afghan Jihad ditemui hal yang berlawanan dan dalam buku petunjuk itu justru disarankan untuk menjadikan Patung Liberty, Jam besar Big Ben atau Menara Eiffel sebagai target. Menurut Carlos Marighela ada dua pendekatan dalam memahami skema propaganda teroris dan mengatakan bahwa perang psikologis semacam itu, yang dilancarkan oleh para teroris baik langsung atau tidak telah memanfaatkan media massa sebagai bentuk komunikasi bahkan para teroris itu memiliki media massa sendiri guna mengekspos tindakan terorisme mereka. Melihat kaitan terorisme, informasi dan industri di era kekinian tentunya penguasaan akan akumulasi informasi yang paling banyak akan “memegang” peran lebih terhadap kemajuan “industri” yang dijalankannya.

Cara ketahanan nasional mengantisipasi atau mencegah terjadinya terorisme atas nama agama tertentu di bumi nusantara
Dalam mengupayakan pencegahan dan penanggulangan terorisme, Badan Intelijen Negara telah menerapkan strategi supremasi hukum, indiskriminasi, independensi, koordinasi, demokrasi, dan partisipasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme. Melalui strategi supremasi hukum, upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Strategi indiskriminasi yang mensyaratkan upaya pencegahan dan penanggulangan diberlakukan tanpa pandang bulu, serta tidak mengarah pada penciptaan citra negatif kepada kelompok masyarakat tertentu. Prinsip indepedensi juga dilaksanakan untuk tujuan menegakkanketertiban umum dan melindungi masyarakat tanpa terpengaruh tekanan negara asing dan kelompok tertentu. Penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan melakukan koordinasi antara instansi terkait dan komunitas intelijen serta partisipasi aktif dari komponen masyarakat. Strategi demokrasi diterapkan dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dalam rangka meredam potensi gejolak radikalisme dan terorisme. Upaya penggalangan melalui pendekatan kepada tokoh masyarakat, tokoh agama moderat, dan yang cenderung radikal terus dilaksanakan, terutama untuk membentuk pola pikir yang lebih moderat dan pemahaman yang benar tentang keyakinan. Hasil operasi intelijen yang telah dicapai dalam perwujudan strategi
tersebut adalah pengungkapan jaringan pelaku terorisme lanjutan.

Solusi masalah terorisme atas nama agama tertentu di Indonesia
Pemerintah terus berupa menegakkan keadilan di masyarakat dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Ideologi radikal mudah terbentuk dan berkembang mekar di masyarakat yang ketimpangan sosial ekonominya sangat tajam. Di samping itu, perkembangan tata ekonomi politik dunia yang cenderung pada materialime-kapitalistik, dengan motor para pemodal raksasa dari negara-negara Barat, telah membuat dis-assosiasi makin kental terutama di negara-negara dunia ketiga. Pemerintah kita juga aktif mengkampanyekan tata hubugan dunia yang makin berkeadilan.
persoalan kekerasan dalam politik dan tindakan terorisme atas nama agama tak hanya berkaitan dengan masalah pemahaman agama yang salah kaprah, tetapi juga ketimpangan ekonomi dan alienasi sosial di tengah pluralisme dunia dan negara bangsa yang cenderung materialistik. Demokrasi yang mengandaikan pluralisme pada awalnya diharapkan dapat mengatasi munculnya pandangan sempit (sebagai akar-akar radikalisme), tetapi hal itu saja jelas tidak cukup. Demokrasi, pluralisme, harus berjalan seiring dan sinergis dengan perbaikan ekonomi dan pembangunan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar